Di aula Polda Sulawesi Selatan, warga Bara-Baraya hadir penuh harap di Gelar Perkara Khusus. Mereka datang tidak hanya sebagai korban, tapi sebagai saksi kehidupan yang retak oleh dugaan pemalsuan dokumen dan pengusiran paksa dari tanah yang telah lama mereka huni. Laporan pidana sudah lama diajukan ke kepolisian, namun hari ini terasa sebagai salah satu titik terang bagi perlawanan mereka.
Kuasa hukum pihak pemohon eksekusi, Sofyan, telah berulang kali menegaskan bahwa Itje Siti Aisyah, yang namanya digunakan dalam dokumen eksekusi, tidak pernah mengetahui dengan pasti lokasi tanah di Bara-Baraya. Fakta ini mengguncang klaim bahwa Aisyah adalah pihak sah untuk mengajukan eksekusi.
Sofyan, kuasa hukum pihak termohon, yang menyatakan bahwa Itje Siti Aisyah tidak mengetahui keberadaan Bara‑Baraya secara detail, menegaskan bahwa namanya diseret sebagai pemohon eksekusi bukan karena keterlibatan nyata, tapi lebih sebagai figur legal formal.
Sofyan juga mengakui bahwa surat kuasa yang dipakai dalam proses pengajuan bukan ditandatangani langsung oleh Itje, melainkan dikirim lewat pihak lain. Ada pula temuan tanda tangan yang jauh berbeda dari tanda tangan yang dianggap asli. Pertanyaan warga semakin menumpuk: bagaimana mungkin seseorang mengajukan eksekusi atas objek tanah apabila dirinya tidak mengetahui dimana objek itu berada, tidak terlibat dalam gugatan awal, serta dokumen kuasa dan identitasnya tampak lemah dalam bukti hukum.
Tidak hanya itu, dokumen kuasa yang menjadi dasar tindakan pengganti tersebut tidak ditandatangani langsung oleh Aisyah, melainkan dikirim lewat ekspedisi oleh ponakannya. Sofyan menyebutkan bahwa selama proses pengajuan, Itje sendiri tampak tidak memahami langsung detail kasusnya, bahkan tidak pernah menghadiri sidang mediasi maupun sidang-gugatan asal secara langsung.
Warga juga memperlihatkan bukti bahwa tanda tangan dalam dokumen kuasa sangat berbeda bentuk dan karakter jika dibandingkan dengan tanda tangan asli yang pernah dimiliki Itje. Perbedaan ini dijadikan salah satu alasan kuat dugaan pemalsuan keterangan dan akta otentik di balik proses legal formal eksekusi.
Sengketa ini berakar dari kasus yang sudah berlangsung sejak sertifikat lama, SHM No. 4 atas nama Moedhinoeng Daeng Matika, diklaim hilang sejak 2007 dan kemudian muncul versi sertifikat pengganti pada tahun 2016 atas nama pihak lain. Warga mengklaim tanah tersebut sudah terjual dan dimiliki berdasarkan sertifikat sebelumnya, sehingga munculnya dokumen baru dan klaim baru hanyalah upaya merampas hak milik warga secara legal-formal.
Diakhir gelar perkara, ada tuntutan konkret: agar Itje Siti Aisyah dihadirkan secara langsung di Makassar, agar pemohon eksekusi memahami persis objek sengketa, agar penegak hukum bertindak transparan, dan agar keadilan tidak hanya menjadi kata, tetapi dibuktikan di lapangan.
Dari proses yang telah terjadi, muncul beberapa petunjuk kuat skema mafia tanah sebagai dasar investigasi lebih lanjut:
- Kemunculan sertifikat pengganti pada tahun 2016 untuk tanah yang disebut‑sebut sudah habis terjual menurut sertifikat lama (SHM No. 4).
- Tidak pernah hadirnya pihak pemohon eksekusi, seperti Itje Siti Aisyah, secara langsung dalam persidangan awal atau mediasi pada gugatan perlawanan esekusi oleh warga, meskipun namanya terus digunakan.
- Tanda tangan dalam surat kuasa yang berbeda jauh dari tanda tangan yang diduga asli, dan dokumen kuasa yang disampaikan lewat pihak ketiga tanpa klarifikasi langsung.
- Penggunaan klaim kehilangan sertifikat lama untuk membuka jalan penerbitan sertifikat baru atas nama yang dipertanyakan legal standing‑nya.
- Putusan pengadilan yang membantah gugatan pemohon karena tidak mampu menunjuk batas objek tanah sengketa, meskipun warga menunjukkan bukti penguasaan dalam praktik.
Gelar perkara di Polda Sulsel hari ini telah membuka sejumlah kejanggalan: nama pemohon eksekusi yang tampak hanya formalitas, dokumen kuasa yang tidak ditandatangani langsung, identitas ahli waris yang tidak jelas, dan objek tanah yang tidak diketahui lokasinya dengan tepat. Semua ini memberi petunjuk bahwa sistem hukum dapat digunakan sebagai alat dalam upaya penguasaan lahan, bukan hanya melalui kekuatan militer atau aparat, tapi lewat manipulasi administratif dan hukum.
Maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah:
Jika Itje Siti Aisyah benar‑benar tak pernah terlibat secara nyata, siapa sesungguhnya yang berada di balik upaya perampasan tanah di Bara‑Baraya?
Untuk mencari jawaban, kita bisa menelusuri pola‑pola dari kasus mafia tanah lain di Makassar sebagai petunjuk:
- Kasus CPI (Center Point of Indonesia) di Jalan Metro Tanjung Bunga yang menggugat aset Pemerintah Provinsi (Pemprov Sulsel) dan dieksekusi oleh pihak swasta, meskipun status tanah tumbuh dan verifikasi pemerintah menunjukkan itu aset negara.
- Sengketa lahan Perumahan Pemda di Kecamatan Manggala, di mana ahli waris menggunakan dokumen warisan kolonial (Eigendom Verponding) yang dianggap sudah usang atau tak relevan tetapi tetap dipakai sebagai alat hukum.
- Eksekusi lahan di Jalan AP Pettarani yang menimbulkan kericuhan, dengan pengerahan aparat dalam jumlah besar, dan klaim pihak ketiga atas sertifikat meskipun warga memiliki bukti legal kepemilikan.
Dengan melihat pola dari kasus‑kasus tersebut, penggunaan dokumen lama atau ganda, sertifikat pengganti, ahli waris yang tidak jelas, pengajuan kuasa melalui pihak ketiga atau tidak langsung, keterlibatan pengembang swasta atau orang berkepentingan, kita bisa menyusun hipotesis bahwa di Bara‑Baraya mungkin ada jaringan serupa: oknum pengacara, pejabat pertanahan, pihak swasta, atau individu dengan koneksi ke lembaga pemerintah, yang menggunakan celah administratif dan hukum untuk merebut tanah warga.
Oleh karena itu, selain memproses pemalsuan dokumen hari ini, sangat penting juga:
- Mengidentifikasi siapa penggugat asli dan siapa yang mendapat keuntungan langsung dari eksekusi.
- Memeriksa apakah ada pejabat BPN, notaris, panitera pengadilan, atau pengacara yang sebelumnya menangani kasus serupa secara sistematis.
- Mengecek historis sertifikat dan bukti kepemilikan warga, apakah ada klaim dokumen lama, kehilangan sertifikat, atau perubahan nama pemilik yang mendadak.
Warga Bara‑Baraya akan terus menuntut transparansi, membuka arsip‑arsip legal, dan memastikan bahwa investigasi tidak hanya berhenti pada nama‑nama yang sudah muncul, tapi menjangkau struktur yang memungkinkan praktik seperti ini terulang.
Karena bila hanya satu bagian dari skema ini yang terungkap, tapi ujungnya tetap kabur, maka ruang hidup rakyat tetap terancam, meski pihak-pihak “resmi” telah tampil di permukaan.
Tim Media Propaganda Aliansi Bara-Baraya Bersatu